Tepatnya, 27 Oktober 1945. Sekitar pukul 11.00, sebuah pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menebarkan ribuan lembar pamflet di udara Kota Surabaya.
Pamflet itu berisi seruan kepada semua pihak termasuk kepada para warga Kota Surabaya agar melucuti senjata mereka atau mereka menghadapi dilumpuhkan dengan senjata.
“Persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot,” demikian bunyi pamflet itu.
Bagi para pejuang, isi pamflet tersebut jelas menunjukkan niat Inggris untuk mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia.
Seketika itu juga, sejumlah tokoh Surabaya pun mengadakan pertemuan. Mereka membahas berbagai pertimbangan dan memperhitungkan beberapa kemungkinan. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Selain itu mereka baru dua hari mendarat pada 25 Oktober 1945 dan dipastikan tak mengerti liku-liku Kota Surabaya.
Setelah pertemuan rupanya strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer sekutu, yang menjadi keputusan,”Angriff ist die beste Verteidigung” (menyerang adalah pertahanan yang terbaik). maka dengan suara bulat diputuskan tidak menyerah. Perintah diberikan langsung Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Minggu 28 Oktober 1945, sekitar pukul 04.30 WIB.
Usai subuh, serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda harus dihalau dari Surabaya.
Serangan itu di luar dugaan pihak Inggris pimpinan Mallaby yang salah satunya melucuti tentara Jepang sesuai dengan isi Perjanjian Yalta. Pihak Inggris pun akhirnya meladeni serangan dan terjadi pertempuran kota.
Timbullah beberapa konflik bersenjata tak seimbang antara kedua pasukan, yang salah satunya terjadi pada 30 Oktober 1945 di dekat Jembatan Merah, Surabaya. Mobil Buick yang ditumpangi Mallaby dicegat oleh pasukan dari pihak Indonesia sewaktu hendak melintasi jembatan dan mengakibatkan terjadi baku tembak yang berakhir dengan tewasnya Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil Mallaby akibat ledakan sebuah granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Jenderal A.W.S. Mallaby tewas pada 30 Oktober 1945 pukul 20.30 WIB.
Kematian Mallaby inilah yang dianggap kemudian memicu terjadi peperangan lebih besar lagi. Mayor Jenderal E.C. Mansergh, pengganti Mallaby, mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya pada tanggal 9 November 1945 untuk menyerahkan senjata tanpa syarat. Pada tanggal 10 November 1945 pecahlah Pertempuran 10 November karena pihak Indonesia tidak menghiraukan ultimatum ini.
Bagi pihak Indonesia, keberhasil menewaskan seorang jenderal yang memiliki jam terbang tinggi pengalaman memimpin pasukan berperang adalah sesuatu hal membanggakan. Namun terbunuhnya Mallaby justru memantik rasa ingin tahu siapa orang yang berhasil menewaskan Mallaby dan lantas meledakkan mobilnya.
Beberapa pelaku sejarah pun tidak pernah tahu siapa yang berhasil menewaskan Mallaby. Termasuk salah satunya almarhum Roeslan Abdulgani dan beberapa pelaku sejarah lainnya. “Siapa yang menewaskan hingga sekarang tidak ada yang tahu,” ujar almarhum Roeslan dalam sebuah kesempatan.
Sejarawan Surabaya, Suparto Brata juga mengatakan, hingga detik ini siapa yang menewaskan Mallaby tetap menjadi misteri. “Tidak ada yang tahu atau saksi mata yang melihat siapa yang membunuh Mallaby,” ujar Suparto Brata.
Mengenaskannya kondisi Mallaby pun juga sempat menimbulkan perdebatan di internal pemerintahan Inggris kala itu. Dalam sejumlah literatur, Tom Driberg, seorang anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party), saat itu menyangkal terbunuhnya Mallaby dengan cara licik.
Ia mengatakan, baku tembak yang terjadi di dekat gedung Internatio dipicu kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak dengan pasukan pihak Indonesia.
“Mereka tidak tahu gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi dari Mallaby,” ujar Driberg.
Menurut Tom Driberg, dalam debatnya di Parlemen Inggris, setelah memerintahkan penghentian baku tembak oleh pasukan India tersebut, dalam satu titik dalam diskusi gencatan senjata, Mallaby kembali memerintahkan untuk memulai tembakan kembali.
“Hal ini berarti gencatan senjata telah pecah karena perintah Mallaby dan Mallaby tewas dalam aksi pertempuran, bukan dibunuh secara licik,” lanjut Driberg.
Dalam ceritanya yang dituangkan dalam sebuah buku, almarhum Roeslan Abdulgani juga menceritakan, kalau pertempuran di depan gedung Internatio dipicu oleh tentara Inggris yang terkurung di dalam gedung melakukan tembakan membabi buta ke arah para pejuang.
“Namun siapa yang membunuh, belum pernah ada saksi mata,” ujar almarhum Roeslan. Kematian Mallaby tetap dalam misteri.(vivanews.com)