Pages

Thursday, December 15, 2011

Krakatau - Gunung Api Terpopuler di Indonesia


Gunung Krakatau barangkali merupakan gunung api Indonesia terpopuler di dunia. Bibliografi yang dibuat Brodie dan Kusumadinata pada 1982 mencatat 1.083 karangan telah dibuat terkait letusan Krakatau. Hingga kini, publikasi tentang Krakatau terus berlangsung, terutama karena Anak Krakatau yang tumbuh cepat dan sangat aktif.

Krakatau mendapatkan reputasinya terutama karena letusannya yang hebat tahun 1883. Selain itu, juga karena saat itu dunia baru menemukan alat komunikasi telegram sehingga kabar tentang letusan Gunung Krakatau dengan cepat tersebar dan menjadi berita hangat di sejumlah koran dunia.

Tak hanya dikaji secara ilmiah, Gunung Krakatau juga menjadi sumber inspirasi karya sastra (kebanyakan ditulis orang Eropa), lukis, hingga film. Suryadi dalam pengantar bukunya, Syair Lampung Karam (2009), menyebut beberapa sastrawan Eropa yang terinspirasi Krakatau dalam karyanya, seperti Ballantyne (1889), Raabe (1930), MacLean (1958), Furneaux (1964), Jacquemard (1969), dan Avalone (1969).

Gunung Krakatau
Adapun beberapa film yang terinspirasi Krakatau di antaranya dibuat oleh Teaching Film Custondians (1933), Twentieth Century-Fox, Joe Rock Productions (1966). Belakangan ada juga film Krakatoa East of Java yang diproduksi American Broadcasting Companies Inc, dan juga film drama dokumenter yang diproduksi kantor berita Inggris, BBC, berjudul Krakatoa The Last Days (2006). National Geographic dan beberapa stasiun televisi asing juga berkali-kali membuat film dokumenter soal Gunung Krakatau.

Dibandingkan dengan karya orang luar, karya ilmiah, sastra, ataupun film yang dibuat masyarakat Nusantara nyaris tidak ada. Kitab Raja Purwa yang dibuat Ronggowarsito tahun 1869 merupakan yang tertua yang mengisahkan Gunung Krakatau, yang dalam bukunya disebut Gunung Kapi.

Belakangan, ditemukan kembali Syair Lampung Karam, yaitu kesaksian pribumi soal letusan Gunung Krakatau pada 1883 yang ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab. Suryadi, pengajar di Universitas Leiden, Belanda, menemukan syair ini dalam tumpukan arsip di kampusnya. Lelaki asal Sumatera Barat ini kemudian mengalihaksarakan dan menerbitkannya tahun 2009. Dia menyebut catatan ini sebagai salah satu kesaksian pribumi yang paling awal dan penting, tetapi kerap dilewatkan.

Sumber : sains.kompas.com