Pages

Friday, October 1, 2010

Presiden Ekuador: Ayo Bunuh Saya Kalau Berani

 Diprotes polisi di negara sendiri, Presiden Ekuador malah menantang balik mereka. Namun, bukannya meredakan situasi, ulah Presiden Rafael Correa itu malah ditanggapi serius sehingga berbuntut kerusuhan. Correa pun akhirnya jadi sasaran serangan gas air mata dan merasa dirinya jadi korban penyanderaan polisi di rumah sakit.

Demikian bagian dari kronologis yang dihimpun media massa. Menurut laman harian The New York Times, Correa berinisiatif datang ke kompleks barak polisi di Ibukota Quito, Kamis 30 September 2010. Dia ingin bertemu langsung dengan para polisi yang melakukan aksi unjuk rasa.

Menurut harian The Christian Science Monitor, polisi rupanya kesal mendengar rencana pemerintah memotong bonus sekaligus memperpanjang periode bagi polisi untuk mendapat kenaikan pangkat, yaitu dari lima menjadi tujuh tahun.

Parlemen Ekuador dikabarkan menyetujui aturan itu menjadi undang-undang pada sidang Rabu, 29 September 2010. Namun, undang-undang itu belum diumumkan secara resmi sehingga belum bisa berlaku.

Rupanya, situasi justru bertambah panas saat Correa menemui para pemrotes. Maksudnya mau dialog, akhirnya suasana berubah tegang.

Mungkin merasa terhina dengan protes polisi, Correa serta-merta mengendurkan dasinya sambil membuka kemeja yang dia pakai, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dia tidak memakai rompi anti peluru.

"Kalau kalian mau bunuh presiden, nih dia orangnya," sahut Correa. "Bunuh aja orangnya, kalau kalian mau. Ayo bunuh kalau berani," lanjut presiden berusia 47 tahun itu.

Kekacauan tak terelakkan dan seketika itu muncul tembakan gas air mata. Correa pun dilarikan ke rumah sakit terdekat karena menderita luka ringan.

Masalah tidak selesai. Para pemrotes lalu mengepung rumah sakit tempat Correa dirawat dan terjadi bentrokan dengan pasukan keamanan dan pendukung presiden.

Di luar barak, kerusuhan menjadi tak terkendali. Para kriminal berkeliaran melakukan penjarahan dan kekacauan saat polisi emoh bekerja. Pemerintah Ekuador pun menerapkan status siaga darurat dan tentara mengambil peran keamanan dan ketertiban.

Di rumah sakit, Correa kepada media mengaku bahwa dia tengah disandera para polisi pemrotes. Dia juga mengungkapkan hal itu saat ditelepon Presiden Argentina, Kristina Kuchner.

Correa pun masih marah. Menurut laman harian The Telegraph, dari ranjang rumah sakit, Correa menyebut para polisi yang memprotes sebagai "bandit yang tak tahu berterima kasih" dan berupaya melancarkan kudeta atas dirinya.

Correa memimpin Ekuador sejak 2006 setelah menang pemilu. Selama periode awal kepemimpinannya ekonom lulusan Amerika itu berhasil menerapkan kebijakan populis, yang cenderung beraliran kiri. Dia meningkatkan kendali pemerintah atas ekonomi dan menyusun program sosial bagi kaum miskin.

Itulah sebabnya Correa terpilih lagi jadi presiden melalui pemilu 2009. Namun, belakangan, popularitas Correa kian menurun. Pasalnya, banyak pihak yang protes atas kebijakan Correa mengenai reformasi birokrasi.(vivanews.com)