Pages

Monday, September 6, 2010

Islam dalam Pandangan Soekarno

 Di bulan Ramadhan ini, Komunitas Salihara menggelar seri kuliah ramadhan bertema Islam dalam pandangan filsuf dan pemikir besar. Seri kuliah ketiga pada Sabtu pekan lalu, membahas Islam dalam pandangan Soekarno, yang disampaikan oleh Goenawan Mohamad. Kuliah umum kali ini adalah seri terakhir yang sebelumnya telah dibahas Islam dalam pandangan Voltaire dan Goethe. Berikut materi kuliah ramadhan yang disampaikan.

Bung Karno lahir dan dibesarkan dari keluarga yang tak membaca Al Qur'an sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Ayahnya seorang priyayi Jawa, pengikut theosofi. Sedangkan ibunya seorang perempuan Bali.

Pada masa itu, ajaran theosofi berpengaruh cukup berarti di Jawa. Perhimpunan theosofi didirikan di New York pada 1875 yang kemudian berpusat di Madras, India. Perhimpunan ini mengajarkan semangat pluralis, yaitu ingin membentuk satu inti persaudaraan universal yang tak memandang ras, keyakinan maupun gender. Di kalangan intelektuil Indonesia, pengikut theosofi yang aktif antara lain Moh Yamin, Sanusi Pane, dan Dr. Amir.

Meski sesekali Bung Karno memakai ajaran India dalam tulisannya, tak nampak pandangan theosofi dalam pemikirannya. Bahkan Bung Karno lebih terpikat pada pemikiran Karl Marx.

Bung Karno memang bukan pemikir Islam seperti halnya Moh. Nasir. Bukan pula seorang pemikir Jawa. Tetapi lebih dari semuanya. Ia seorang penerus semangat modernitas, yang dalam hal ini dibentuk oleh Marxisme. Ketika itu, Bung Karno diwawancarai oleh koresponden Antara yang kemudian dimuat dalam Pandji Islam tahun 1939. "Saya adalah murid dari Historische School van Marx," katanya.

Wawancara itu dilakukan setelah diberitakan Bung Karno meninggalkan rapat umum Muhammadiyah sebagai protes. Dalam rapat umum ini ada tabir yang memisahkan pengunjung perempuan dan laki-laki. Baginya, tabir adalah simbol dari perbudakan perempuan. Namun, Bung Karno melihat penggunaan tabir secara historis dan disitulah ia menunjukkan pandangan dasarnya tentang Islam.

Sebagai seorang Marxis, ia memandang tafsir agama sebagai sesuatu yang tak tentu (contingent) terhadap sejarah sosial dimana tafsir itu dikemukakan. Pertautan tafsir dengan sejarah itu berarti juga pertautan tafsir dengan perubahan. Sebab dalam sejarah, kata Bung Karno, ada garis dinamis yang makin lama makin meningkat ke arah terang. Sejarah dan zaman terus bergerak. Tak akan pernah berhenti.

Islam bagi Bung Karno, pada awalnya adalah sebuah energi politik pembebasan. Tatkala Sarekat Islam mengalami perpecahan organisasi, Bung Karno melihat kejadian itu sebagai hal yang menyedihkan. Tetapi ia tetap memandang Islam lebih sebagai satu elemen dalam perjuangan antikolonial. Tapi tidak sebagai sumber gagasan.

Ketika ia berbicara tentang Islamisme dalam risalahnya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme", yang diuraikannya terutama bukan pandangan yang ditoreh dari Qur'an dan Hadist. Ia lebih banyak menunjukkan semangat dan pemikiran Jamaluddin Al Afghani yang menurutnya adalah pertama-tama membangunkan rasa perlawanan di hati sanubari rakyat muslim terhadap bahaya imperialisme Barat.

Bung Karno menganjurkan pilihan rasionalisme. Rasionalisme diminta "kembali lagi" duduk diatas singgasana Islam. Kata "kembali lagi" tidak mengacu kepada Qur'an dan Hadits, melainkan kepada sebuah zaman ketika pahlawan-pahlawan akal hidup bebas. Yaitu zamannya kaum Mu'tazillah, zaman Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd. Pada masa itu, orang-orang Islam membuka diri kepada filsafat Yunani, matematika Hindi dan sumber-sumber keilmuan lain. Yang kemudian melahirkan filsafat, teori aljabar, ilmu kimia, kedokteran dan lainnya. Dan ilmu-ilmu itu kemudian dipungut dan berkembang di Eropa.

Jika kita ikuti argumen Bung Karno tentang kemajuan, sejarah dan perlunya perubahan tafsir bahkan hukum, nampak bahwa ia sebenarnya lebih cenderung menyambut pandangan yang mengintegrasikan empirisme dengan rasionalisme. Atau dengan kata lain adalah pragmatisme.

Pragmatisme Bung Karno tentu saja tak menafikan iman. Pragatisme itu menilai agama bukan benar atau tidak. Melainkan menilai agama dari manfaatnya bagi manusia. Itulah sebenarnya dasar pandangan Bung Karno tentang Islam. Baginya, Islam akan terus ada bukan karena ditakdirkan abadi dengan ajaran yang kekal, melainkan karena ia terus menerus bisa menjadi berharga.

Dalam masa perjuangan antikolonialisme, harga itu terletak dalam perannya untuk menggerakkan manusia untuk menumbangkan apa yang tak adil. Dalam abad modern, harga itu terletak dalam kemampuannya jadi bagian zaman bergerak.