Pages

Friday, September 17, 2010

Inilah Mumi Dari Wamena, Tidak Kalah Dengan Firaun

MUMI Wamena, bisa jadi, tidak sekondang mumi para Firaun Mesir. Namun, sensasinya tak kalah kuat. Apalagi, pengunjung tidak hanya bisa melihat mumi berusia ratusan tahun tersebut. Pengunjung juga diizinkan untuk berfoto dengan mumi yang bentuk beberapa organ tubuhnya masih tampak jelas itu.

Tak aneh, desa tempat mumi tersebut seolah menjadi lokasi yang wajib dikunjungi oleh siapa saja yang ke Wamena. Sebut, misalnya, Mumi Wim Motok Mabel di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena, Papua.

Untuk mencapai Wamena, pengunjung dari luar Papua harus transit dulu di Bandara Sentani, Jayapura. Dari Sentani, kita harus menggunakan pesawat udara lagi. Sebab, sampai saat ini jalur udara itulah satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk mencapai Wamena.

Tiket pesawat Jayapura-Wamena Rp 880 ribu per orang. Tidak terlalu mahal, mungkin. Tapi, mendapatkannya tidak mudah. Maklum, pesawat yang tersedia terbatas.

Setelah dapat tiket pun, belum bisa dipastikan kita akan sampai di Wamena. Masih ada penentu lain. Cuaca. Untuk mencapai Wamena, pesawat harus melalui celah di antara dua bukit. “Bila cuaca sedang tidak bagus sehingga celah itu berkabut, pesawat biasanya kembali ke Bandara Sentani,” tutur seorang calon penumpang di Bandara Sentani. Mendebarkan? Mereka yang gemar bertualang mungkin menganggapnya mengasyikkan.


Tiba di Bandara Wamena, tinggal pilih, mau langsung ke perkampungan tempat mumi berada atau beristirahat dulu.

Bila mau langsung menuju lokasi, kita bisa memanfaatkan jasa taksi bandara. Tarifnya Rp 100 ribu per jam atau Rp 800 ribu per hari. Bila pengunjung ingin beristrahat dulu, di sekitar Bandara ada hotel dan penginapan. Tarif terendah Rp 250 ribu per hari.

Perkampungan mumi di Distrik Kurulu, Jaya Wijaya, berjarak sekitar 30 kilometer atau 25 menit perjalanan dari Kota Wamena. Sepanjang perjalanan, mata seolah dimanjakan dengan pemandangan alam terbuka yang berbukit-bukit dan menawan.

Lalu, wow! Sekitar 15 menit perjalanan, menjelang memasuki desa tempat mumi berada, di kiri jalan tampak bukit dengan hamparan putih di sekelilingnya. Salju? Bukan. Hamparan putih itu pasir. Tapi, memang, pasir itu terlihat putih sekali.

Setelah 25 menit perjalanan, sampailah kita tiba di kampung mumi. Perkampungan itu dihuni 20 kepala keluarga. Di bagian depan perkampungan ada pintu masuk yang hanya dibuka saat ada tamu.

Begitu kami masuk halaman perkampungan, mereka langsung menyambut kami dengan ramah. Yang perempuan mengenakan sali (rok dari kulit kayu), sedangkan yang laki-laki memakai koteka. Kesan primitif sangat terasa. Namun, ada yang bilang bahwa mereka sebetulnya sudah berkain seperti kita sehari-hari. “Tapi, mereka langsung buka baju begitu tahu ada pengunjung,” kata seorang teman yang asli Wamena.

Lingkungan di perkampungan itu juga masih terkesan alami. Di kiri kanan tampak honai, rumah tempat warga tinggal. Di salah satu honai itulah mumi Wim Motok Mabel disimpan.

Mau melihat mumi? Boleh. Tapi, harus nego dulu sebelum mereka mau mengeluarkan mumi tersebut dari honai. “Ada tarifnya. Biasanya pengunjung harus bayar Rp 25 ribu. Katanya sih untuk biaya perawatan,” kata teman tadi.

Menurut Batu Logo, salah seorang warga yang tinggal di perkampungan tersebut, Mumi Wim Motok Mabel adalah generasi ketujuh. Usianya saat ini 368 tahun. “Dia (Wim Motok Mabel, Red) adalah kepala suku perang. Menurut cerita orang tua kami, sebelum meninggal beliau berpesan agar mayatnya tidak dibakar. Beliau minta mayatnya diawetkan agar jasadnya bisa dilihat generasi berikutnya,” kata Batu Logo.

Meski telah berusia 368 tahun, sebagian bentuk tubuh mumi itu masih sangat jelas. Terutama kepala, badan, dan kaki. Bahkan, kotekanya pun masih terlihat. “Untuk menjaga agar tidak rusak termakan usia, mumi itu dirawat secara tradisional dengan pengasapan dan pengolesan lemak babi ke seluruh tubuh mumi,” terang Batu Logo.

Mau berfoto bersama Mumi, bisa. Tapi, lagi-lagi ada tarifnya. Bahkan, berfoto dengan warga setempat yang mengenakan pakaian tradisional pun, kita harus bayar. “Seorang Rp 5 ribu untuk sekali jepretan,” kata Batu Logo.

Bahkan, di depan salah satu honai, tampak pondok yang memajang hasil kerajinan tangan warga. Kotega berbagai jenis dan ukuran terlihat bergantungan di sana. Ada juga noken, kalung, gelang, dan beragam kerajinan tangan lain. Harganya juga bervariasi. Tapi, jangan dulu berpikir “serbu”, serba lima ribu. Kerajinan tangan di kios suvenir itu berharga Rp 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah.