Pages

Thursday, September 30, 2010

Benarkah BUNG KARNO Pernah Ditodong Jendral?

Pintu kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat yang ingin bertemu presiden. Mereka diutus oleh Soeharto. Ada map merah muda di tangan salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang mesti ditandatangani Soekarno.

Naskah itu tidak segera ditandatangani Soekarno. Dia sempat bertanya tentang mengapa kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat. Seharusnya Surat Perintah itu ber-kop surat kepresidenan. Tapi pertanyaan Soekarno hanya dijawab Jendral Basuki Rachmat, “Untuk membahas, waktunya sangat sempit. Paduka tandatangani saja”.

Kesaksian ini dituturkan Soekardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Soekarno. Sesudah jatuhnya Soekarno, Soekardjo pernah dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun tanpa proses pengadilan, termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.


Soekardjo Wilardjito

Soekardjo ini pernah mengejutkan orang dengan kesaksiannya yang bersikukuh menyatakan Basuki Rachmat dan Panggabean menodongkan pistol ke muka Soekarno karena bimbang menandatangani. Melihat itu, Soekardjo sebagai pengawal presiden secara refleks mencabut pistol untuk melindungi presiden. Namun meletakkan pistolnya kembali, karena Soekarno tidak ingin melihat pertumpahan darah. Surat yang akhirnya ditandatangani Soekarno itu dikenal kemudian dengan nama Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret.

Soekardjo juga bersaksi bahwa yang menghadap Soekarno adalah empat jendral dan bukan tiga jendral seperti yang disebutkan selama ini. Keempat jendral utusan Soeharto itu adalah M. Yusuf, M. Panggabean, Amir Machmud dan Basuki Rachmat. Biarpun ada yang masih meragukan kesaksian Soekardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada kesaksiannya itu. Kemudian malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul “Mereka Menodong Bung Karno”.



Kesaksian Soekardjo bahwa Soekarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean sendiri. Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”. Sehingga kebenaran kesaksian Soekardjo itu masih perlu ditelusuri lagi. Benarkah demikian?

Ditodong atau tidak, rasanya Soekarno bukan orang yang mudah digertak. Bagaimanapun, apapun alasan Soekarno menandatangani naskah Supersemar, pada dasarnya kesaksian Soekardjo itu menggambarkan situasi yang tidak kompromistik. Situasi yang membuat Soekarno terjepit. Tak ada waktu bernegosiasi. Pokoknya teken sekarang! Ada bau konspirasi di balik itu.

Dan hasilnya adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Bung Karno menyebutnya dengan istilah SP Sebelas Maret. Sesudah menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa surat itu mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih. Permintaan itu tidak pernah terwujud, karena ketika menandatangani surat itu, tanpa disadari Soekarno sedang menandatangani kejatuhannya.

Sesudah penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan wahyu sebagai pemimpin seakan sudah tercabut dari Soekarno. Sebagai presiden, Soekarno sudah menandatangani ribuan surat. Tapi tandatangannya di surat yang satu ini, Supersemar, menjadi pedang yang menghunus kekuasaannya sendiri.

Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Soekarno pada Soeharto untuk mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI. Belakangan mandat Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan yang menyingkirkan Soekarno. Dengan Supersemar itu Soeharto memperoleh surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.

Bung Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam pidatonya berteriak “Jangan jegal perintah saya! Jangan saya dikentuti!”. Ini ekspresi kemarahan Soekarno kepada orang-orang yang dianggapnya telah menipunya, melangkahinya dan membangkang perintahnya.



Menjelang kejatuhannya, Bung Karno mulai agak kehilangan kontrol diri. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang emosional. Tampaknya Bung Karno mulai frustrasi. Dia sudah mulai merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.

Salah satunya yang bikin Soekarno merasa dikentuti, seperti katanya, adalah Supersemar tadi. Bagaimana tidak? Bung Karno merasa Supersemar diplintir! Padahal Supersemar dimaksudkan Soekarno untuk memberi mandat pada Soeharto agar segera memulihkan keamanan negara, bukan melengserkannya.

Kecurigaan Soekarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi Supersemar, tercermin dari pidatonya. Ketika itu Bung Karno mulai melihat tanda-tanda Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai “dimainkan” oleh Suharto. Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali, dirinya tidak bermaksud mengalihkan kekuasaannya pada Soeharto.

Kata Bung Karno, “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority”. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.

Berdasarkan pidato Soekarno di atas, timbul kecurigaan orang. Mungkinkah Supersemar “sengaja” dinyatakan hilang? Betulkah naiknya Soeharto sebagai presiden adalah inskonstitusional karena bertentangan dengan amanat Supersemar? Dan karenanya Supersemar mesti lenyap secara misterius? Apakah bisa dipercaya begitu saja bahwa dokumen negara sepenting itu bisa hilang?

Dua naskah Supersemar di Arsip Nasional disebutkan hanya fotocopy. Yang janggal, dua naskah itu tidak mirip karena diketik dengan spasi berbeda. Pertanyaannya, yang manakah di antara kedua naskah itu yang otentik? Atau apakah malah keduanya sama-sama tidak otentik?



Naskah Supersemar yang diragukan keasliannya

Menurut kesaksian staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI) Salim Thalib, naskah Supersemar yang dikenal sekarang adalah palsu. Selain aslinya tidak serapi itu, isi naskah juga tidak sama dengan naskah aslinya.

Jadi betulkah tuduhan beberapa kalangan yang menyamakan ini dengan usaha penghilangan barang bukti? Kalau memang Supersemar tidak diplintir, apa buktinya bahwa Supersemar itu tidak diplintir?

Sebetulnya kenapa Supersemar itu mesti dirancang dan Soekarno mesti dipaksa menandatangani? Ada banyak teori konspirasi rumit tentang ini. Tapi saya tertarik dengan teori berikut ini.

Latar belakangnya tak lepas dari persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Sebelum terjadinya G30S, persaingan antara PKI dan Angkatan Darat sudah dalam taraf saling jegal menjegal. Bahkan PKI sampai ingin membangun “Angkatan Kelima” dalam militer.

PKI ingin menggeser Angkatan Darat. Dan Angkatan Darat ingin menggeser PKI. Apalagi ketika itu Soekarno sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin usianya tidak lama lagi. Pokoknya siapa cepat, dia dapat. Antara PKI dan Angkatan Darat sudah betul-betul sikut-sikutan.

Begitu meletus konspirasi G30S, inilah kesempatan Angkatan Darat untuk menghancurkan saingan beratnya itu. Tak ada ampun, pokoknya PKI harus musnah. Dan penghancuran itu akan lebih afdol jika presiden sendiri yang mengumumkan pembubaran PKI. Soalnya yang punya hak untuk membubarkan partai politik cuma presiden. Itu adalah hak prerogatif presiden. Tapi tunggu punya tunggu, Soekarno kok belum mau juga membubarkan PKI. Bagaimana ini?(kaskus.us)